Kumpulan Cerpen Kompas
arsip cerita pendek kompas minggu
Kaki yang Terhormat
dengan 6 komentar
Menurut Anda, bagian tubuh manakah yang paling penting? Saya yakin, tak mudah untuk langsung menjawab. Tetapi, bila hal itu ditanyakan kepada nenek saya, serta-merta ia akan bilang, ”Kaki!” seraya mengangkat sebelah kaki, dengan telunjuk menukik lurus ke bawah, dalam hitungan yang tak mencapai detik.Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek saya. Sementara untuk penggal pertama, ia akan menyergah, ”Lidah?! Mestinya pelihara ludah!” seraya mengulum menciutkan bibir, lantas mendorong dengan pipi kempotnya. Meludah. Merah, sirih bercampur sedah. Dan kami takkan lagi bertanya. Karena bila masih, maka mulut krumput Ine—begitu nenek biasa menyebut dirinya—akan siap ”menembak” kami sesudah bilang, ”Mau he, kalian Ine ludahi?!” Tapi tak jarang kami menantang, ”Mau Ine! Mau Ine!” seraya segera meloncat mundur, tertawa terpingkal-pingkal, bergerak memencar, agar nenek tak mudah membidik kami. ”Nah, kalian takut pada ludah! Bukan lidah! Hi-hi,” Nenek kemudian juga akan terkekeh. ”Kaki! Lebih penting pelihara kaki!” Dan akan masih beberapa kalimat lagi sebelum akhirnya nenek menunjuk ke bukit itu. Bukit kecil, di pinggir kampung, dengan puncak yang aneh. Bila dilihat dari rumah kami, puncak bukit itu tampak seperti sisi luar kaki yang diacungkan telentang mengarah ke atas. Kenapa bisa begitu persis? *** Tentu saja kami pernah mencoba naik ke bukit itu. Tapi karena bagian yang bisa didaki atau ditempuh bukan sisi yang mengarah ke rumah kami, kami tak menemukan bentuk yang jelas kecuali sedikit dataran berbatu di puncaknya dengan banyak lumut hitam licin menyembul dari rerengkahan, hingga kami harus melangkah sangat hati-hati. Dan di puncak itu, kami, para cucu nenek, akan berteriak, ”Neneek, tak ada kaki! Neneeekk!” terkakah-kakah seraya membayangkan alangkah seru menggoda nenek kalau saja nenek bisa ada di situ. Tapi entah kapan, suatu kali, kami terkejut oleh ucapan Adang, ”Ine itu, dulu semasa muda, suka naik ke Bukit Kaki.” Adang adalah panggilan kami untuk kakak perempuan tertua ibu-ibu kami. Artinya juga, ia adalah anak sulung nenek, dan paling punya banyak waktu bersama nenek karena (bahkan sampai tua kelak) tak pernah menikah. Spontan, kami saling pandang. ”Mau apa Ine ke bukit itu, Adang?” ”Kenapa tak langsung kalian tanya Ine?” Maka kami menghambur, berlarian mencari nenek. Mulanya nenek tak acuh saat kami tanya. Tetapi setelah menggumpal-gumpalkan sirih, lalu menyumpalkan ke balik gusi (seolah memang ada kantong khusus di situ), nenek bergumam, ”Mmm kalian bocah-bocah takkan mengerti, tapi baik Ine bilang. Ine sering naik ke bukit itu karena di situlah peruntungan Ine.” Kami tak tahu apa itu peruntungan. Yang kami tahu cuma kata beruntung. Kelak, bertahun-tahun kemudian, kami baru paham bahwa kata peruntungan lebih berkaitan dengan jodoh, pernikahan, hubungan lelaki dan perempuan. Tapi waktu itu, apa pun arti kata itu, tak ada bedanya. Usman, adik sepupu yang usianya tepat di bawah saya, cepat bertanya. ”Jadi, tak berkaitan dengan kaki, Ine?” ”Jelas berkaitan.” Kami semua bingung. ”Yaa… kalian bocah-bocah memang takkan mengerti. Kalau kaki Ine tak melangkah ke bukit itu, maka Ine tak bakal bertemu Atuak kalian.” Atuak adalah panggilan untuk kakek kami. Tapi kami tetap belum mengerti, bahkan walau saya sendiri kemudian menanyakan, ”Ine ketemu Atuak di bukit itu?” ”Tidak.” Jadi… ”Karena kaki Ine melangkah ke arah situ, makanya Ine bertemu Atuak. Jadi kaki lebih penting dari apa saja.” Ooo! Kami mengangguk-angguk, walau sebenarnya masih berpikir tentang apa hubungan bertemu Atuak, kaki lebih penting, dan seringnya nenek ke bukit itu. Kalau cuma karena bertemu Atuak, setelah bertemu kenapa mesti datang lagi ke situ? Tapi keheranan kami yang tak terucap, bila dipikir kemudian, mungkin karena nenek memang sering jalan kaki ke mana-mana. Dan alasan nenek, bila kami tanya, selalu ia jawab cuma karena suka. Sesuatu yang lalu jadi biasa, tak lagi menimbulkan heran, bahkan bagi penduduk kampung. Bahkan sampai lama kelak, walau tubuh nenek sudah bungkuk dan harus ditopang dengan tongkat, berjalan melangkah satu-dua, berhenti, lalu melangkah lagi seperti kura-kura. *** Kata seperti kura-kura saya gunakan tidak sambil lalu atau kebetulan. Ungkapan itu pertama saya dengar dari Usman, saat beberapa dari kami sudah masuk SMA di kota kecamatan, yang membuat hari-hari kami tak lagi banyak di kampung. Anda benar bila menduga ungkapan itu berasal dari orang-orang kampung, tetapi keliru bila mengira ungkapan itu langsung mengarah ke sesuatu yang tak baik. Di kampung kami, banyak ungkapan menggunakan nama binatang bukan karena sifatnya, melainkan lebih karena gerak-geriknya. Ungkapan-ungkapan itu, karena sangat khas dan menyangkut seseorang, tak jarang jadi sangat dikenal. Dan untuk nenek yang dinilai orang-orang kampung termasuk keturunan terpandang, ungkapan itu hampir-hampir menyamai legenda. Tetapi legenda kura-kura nenek ini, baik saya beri tahu, tak bertahan lama. Dia hancur bersama legenda lain, helikopter Harun, yang juga akan saya ceritakan. Legenda kura-kura bisa bertemu dengan legenda ganjil itu (ya, helikopter bukan nama binatang), tak lain tak bukan, kaki jugalah yang menghubungkan. Waktu itu, saat kami semua masih SD, keluarga besar kami melepas Mak Etek ke Jakarta. Mak Etek, nama panggilan kami untuk adik lelaki terkecil ibu-ibu kami (yang tentu pula berarti anak bungsu nenek), melanjutkan kuliah ke Ibu Kota. Banyak sekali nasihat nenek kepada Mak Etek, tapi yang justru kami ingat adalah apa yang kemudian diucapkan nenek kepada kami, ”Kakilah yang menentukan hidup seseorang akan seperti apa. Dan kaki itu kini telah membawa Mak Etek kalian ke Jakarta.” Lama kami tak mendengar kabar tentang Mak Etek. Atau, mungkin pula memang kami yang tak begitu peduli. Entahlah. Cerita tentang seseorang merantau dalam keluarga besar kami tak begitu terperhatikan. Ada 11 orang anak nenek, ditambah dengan 18 orang anak adik-adik nenek (belum lagi jika dihitung anak-anak sepupu nenek), maka mengingat kabar tentang masing-masing yang merantau mungkin memang percuma, karena sesudahnya akan segera lupa. Tetapi, rupanya, tak begitu dengan Mak Etek. Suatu kali, seorang dari kampung sebelah yang juga merantau ke Jakarta, pulang dan bilang bahwa Mak Etek telah sangat kaya. Kabar seperti ini juga tak bakal terperhatikan, lazim saja para perantau jadi kaya, kalau tidak ada kabar dan desas-desus sesudahnya, ”Saking kayanya, si Harun itu kini ke mana-mana naik helikopter.” Harun? Itu memang nama Mak Etek. Helikopter? Itu benda yang hanya pernah kami lihat di gambar-gambar atau televisi. Ah, apakah benar, apakah mungkin, Mak Etek bisa punya helikopter? Bahkan orang terkaya sekecamatan—bukan hanya di lingkup kampung kami—cuma punya satu mobil sedan dan dua truk barang. Maka segera, helikopter Harun jadi legenda. Dan nenek, dengan kebanggaan yang tak bisa ia sembunyikan, jadi sering bilang, ”Itu semua karena kaki! Coba, kalau kaki Harun tak membawanya ke Jakarta.” *** Sebetulnya, kalau mau jujur, bukan hanya nenek yang bangga. Banyak dari keluarga kami, yang bila ngobrol, tak bisa menyembunyikan perasaan bangga kepada keluarga lain. Bahkan, bukan hanya keluarga kami. Banyak dari penduduk kampung, yang bila ngobrol, juga tak bisa menyembunyikan bangga kepada penduduk kampung lain. Maka, keyakinan nenek pada kaki, berkembang bagai tak terbantahkan. Seperti tak cukup kalau kaki hanya dikatakan penting. Kaki adalah sesuatu yang terhormat. Dan legenda helikopter Harun, bukan hanya ganjil. Anda tahu, tak semua penduduk kampung kami kenal helikopter. Maka legenda itu, kemudian, juga jadi mirip-mirip dongeng. Orang-orang membayangkan seperti apa kini Mak Etek, seraya berusaha mereka-reka membayangkan seperti apakah sesungguhnya helikopter. Tetapi, suatu ketika, dongeng itu seperti akan jadi nyata. Terbetik kabar bahwa Mak Etek bakal pulang. Bukan pulang sembarang pulang, tapi pulang dengan suatu rencana besar: jalan raya akan dibentangkan, Bukit Kaki akan diruntuhkan, dan di bawahnya akan dibangun pabrik semen yang, konon, biayanya triliunan. *** Dan, memang, saat itu akhirnya datang. Banyak sekali orang-orang, para pekerja dengan alat-alat berat entah apa, datang ke kampung kami. Pohon-pohon pun direbahkan, bagian-bagian puncak Bukit Kaki diledakkan, tapi belum ada tanda-tanda Mak Etek bakal pulang. Beberapa paman, yang biasa kami panggil Mamak, menyabarkan nenek. Tak ada reaksi dari nenek, kecuali kian sering duduk di jendela, memandang ke arah Bukit Kaki lama-lama. Jalan kecil ke arah Bukit Kaki diperlebar, beberapa bagian mulai diaspal, tapi tetap tak pasti kapan Mak Etek pulang. Bukan hanya ibu-ibu dan para keluarga pihak sepupu yang kini bertanya-tanya, tetapi para paman juga mulai gelisah. Dan persis saat kegelisahan itu seperti mulai tampak menghinggapi nenek, berita besar menghantam bagai geledek: Harun terlibat kasus korupsi. Korupsi besar. Sangat besar. Melibatkan bank besar dan orang-orang besar. Seisi kampung heboh. Bahkan sekecamatan. Bahkan sekabupaten, orang-orang tak henti mempercakapkan. Berhari-hari, berminggu-minggu, Mak Etek kami jadi berita. Tak ada lagi dongeng, karena orang-orang kini bisa melihat Harun dengan nyata. Wajahnya muncul di halaman depan koran-koran, televisi-televisi pun bagai tak henti menayangkan. Dan nenek kami, seperti Anda duga, mulai tak lagi tampak di jalan-jalan. Legenda helikopter itu lenyap, runtuh, membawa serta legenda kura-kura. *** Tak ada lagi yang perlu saya ceritakan. Tapi kalau misalnya Anda bertemu salah seorang dari kami (ya, para cucu nenek) lalu mendengar cerita sedikit berbeda, itu wajar saja. Setelah nenek tak ada, memang, ada beberapa versi cerita tentang nenek dan kaki, terutama di bagian akhir atau penutupnya. Banyak dari kami yang percaya, setelah Mak Etek dipenjara, nenek bilang semua terjadi karena diledak dan diruntuhkannya puncak Bukit Kaki. Tapi kepada saya, pada saat saya telah tamat kuliah dan akan merantau pula sebagaimana lelaki anggota keluarga besar lainnya, nenek mendekatkan kepala, seperti berbisik, ke telinga saya. ”Kau tahu apa sebenarnya yang membuat Mak Etekmu celaka?” Saya menarik kepala. Memandang bibir krumput nenek lalu menggeleng. ”Karena ia tak lagi menggunakan kakinya. Karena ke mana-mana hanya dengan kendaraan, di atas helikopter itu saja.” Saya diam, hanya terpana. Sebenarnya, saya tak begitu yakin apakah memang perlu menceritakan bagian terakhir ini kepada Anda hingga cerita tentang nenek dan kaki punya versi yang tak sama. Payakumbuh, 2009